Jumat, 30 November 2012

pengembangan kurikulum

education
BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Kurikulum merupakan hala yang pokok dalam dunia pendidikan. Hal-hal yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan dipandang sebagai kurikulum. Pengertian kurikulum yang semakin meluas, sehingga membuat para pelaksana kurikulum memberikan batasan sendiri terhadap kurikulum.
Namun perbedaan pengertian tersebut tidak menjadi masalah yang besar terhadap pencapaian tujuan pendidikan, apabila kurikulum tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang mendasarinya. Perwujudan prinsip, aspek dan konsep kurikulum tersebut terletak pada guru. Sehingga guru memiliki tanggung jawab terhadap tercapainya tujuan kurikulum itu sendiri.
Oleh karena itu, seorang pelaksana kurikulum perlu mengetahui dan melaksanakan prinsip-prinsip apasaja yang terdapat dalam kurikulum. Namun hal ini sering diabaikan oleh para pelaksana kuikulum, sehingga pencapaian tujuan pendidikan tidak optimal atau bahkan melenceng dari tujuan sebenarnya. Hal ini yang mendasari penulis untuk menyusun makalah yang berjudul prinsip prinsip pengembangan kurikulum. Salah satunya yaitu agar para pelaksana kurikulum dapat memahami dan melaksanakan prinsip tersebut.

B.                 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang terurai diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari prinsip pengembangan kurikulum?
2.      Apakah prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum?
3.      Mengapa prinsip di perlukan dalam pengembangan kurikulum?

C.                Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat:
1.      Memahami makna prinsip dalam pengembangan kurikulum
2.      Mengerti dan memahami prinsip-prinsip apa saja yang terdapat dalam kurikulum.
3.      Menerapkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dalam pelaksanaannya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Prinsip kurikulum dapat juga dikatakan sebagai aturan yang menjiwai pengembangan kurikulum. Prinsip tersebut mempunyai tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan permintaan semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.

Pada umumnya ahli kurikulum memandang kegiatan pengembnagn kurikulum sebagai suatu proses yang kontinu, merupakan suatu siklus yang menyangkut beberapa kurikulum yaitu komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Kurikulum di Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam masyarakat. Penerapan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum salah satunya dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya dalam kurikulum berbasis kompetensi dimana dalam prinsip pengembangan ini juga memperhatikan beberapa aspek mendasar tentang karakteristik bangsa.
B.       Macam –Macam prinsip dalam kurikulum
Oemar Hamalik (2001) membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi delapan macam, antara lain:
1.        Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembngan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai. Yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
2.        Prinsip Relevansi (Kesesuaian)
Pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi dan system penyampaian harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembnagan ilmu pengetahuan dan tegnologi.
3.        Prinsip Efisiensidan Efektifitas.
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan segi efisien dan pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan sumber-sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal. Dana yang terbat harus digunakan sedemikina rupa dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa belajar disekolah juga terbatas sehingga harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan tata ajaran dan bahan pembelajaran yang diperlukan. Tenaga disekolah juga sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya didaya gunakan secara efisien untuk melaksanakan proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan, dan sumber kerterbacaan, harus digunakan secara tepat oleh sswa dalam rangka pembelajaran, yang semuanya demi meningkatkan efektifitas atau keberhasilan siswa.
4.        Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau kaku. Misalnya dalam suatu kurikulum disediakan program pendidikan ketrampilan industri dan pertanian. Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya lahan pertanian., maka yang dialaksanakan program ketrampilan pendidikn industri. Sebaliknya, pelaksanaan di desa ditekankan pada program ketrampilan pertanian. Dalam hal ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan ketersediaan tenaga dan peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kurikulum.
5.        Prinsip Kontiunitas
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain memilik hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan siswa. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan didalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
6.        Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum memerhatikan keseimbangan secara proposional dan fungsional antara berbagai program dan sub-program, antara semau mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Keseimbangan juga perlu diadakan antara teori dan praktik, antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial, humaniora, dan keilmuan perilaku. Dengan keseimbangan tersebut diaharapkan terjalin perpaduan yang lengkap dan menyeluruh, yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangan terhadap pengembangan pribadi.
7.        Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan, perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-unsusrnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik di lingkungan sekolah maupun pada tingkat inter sektoral. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuk pribadi yang bulat dan utuh. Diamping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembalajaran, baik dalam interaksi antar siswa dan guru maupun antara teori dan praktek.
8.        Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan,/media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional yang diaharapkan.
Sementara Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata membedakan prinsip pengembangan kurikulum dalam dua hal yaitu prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus.

Prinsip-prinsip umum meliputi :
1.         Relevansi
Dalam hal ini dapat dibedakan relevansi keluar yang berarti bahwa tujuan, isi, dan proses belajar harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan relevansi ke dalam berarti bahwa terdapat kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian yang menunjukkan keterpaduan kurikulum.
2.        Fleksibilitas
Kurikulum harus dapat mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan, dan latar belakang anak.
3.        Kontinuitas
Terkait dengan perkembangan dan proses belajar anak yang berlangsung secara berkesinambungan, maka pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, serta antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan.
4.        Praktis/efisiensi
Kurikulum harus praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya murah. Dalam hal ini, kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia.
5.        Efektifitas
Efektifitas berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan kurikulum baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Kurikulum merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam pengembangannya, harus diperhatikan kaitan antara aspek utama kurikulum yaitu tujuan, isi, pengalaman belajar, serta penilaian dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Prinsip-prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum meliputi:
1.          Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan pusat dan arah semua kegiatan pendidikan sehingga perumusan komponen pendidikan harus selalu mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan ini bersifat umum atau jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada ketentuan dan kebijakan pemerintah, survey mengenai persepsi orangtua / masyarakat tentang kebutuhan mereka, survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, survey tentang manpower, pengalaman-pengalaman negara lain dalam masalah yang sama, dan penelitian. 
2.        Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Dalam perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu perlunya penjabaran tujuan pendidikan ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana, isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan, dan unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.  
3.         Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar-mengajar
Pemilihan proses belajar mengajar hendaknya mempertimbangkan beberapa hal, yaitu apakah metode yang digunakan cocok, apakah dengan metode tersebut mampu memberikan kegiatan yang bervariasi untuk melayani perbedaan individual siswa, apakah metode tersebut juga memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat, apakah penggunaan metode tersebut dapat mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor, apakah metode tersebut lebih menaktifkan siswa, apakah metode tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru, apakah metode tersebut dapat menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan rumah sekaligus mendorong penggunaan sumber belajar di rumah dan di masyarakat, serta perlunya kegiatan belajar yang menekankan learning by doing, bukan hanya learning by seeing and knowing.
4.         Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran
Proses belajar mengajar perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal berikut, yaitu alat/media apa yang dibutuhkan, bila belum ada apa penggantinya, bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat, bagaimana pembiayaannya, dan kapan dibuatnya, bagaimana pengorganisasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar, serta adanya pemahaman bahwa hasil terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multi media
5.         Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan kegiatan penilaian meliputi kegiatan penyusunan alat penilaian harus mengikuti beberapa prosedur mulai dari perumusan tujuan umum, menguraikan dalam bentuk tingkah laku siswa yang dapat diamati, menghubungkan dengan bahan pelajaran dan menuliskan butir-butir tes. Selain itu, terdapat bebarapa hal yang perlu juga dicermati dalam perencanaan penilaian yang meliputi bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan siswa yang akan dites, berapa lama waktu pelaksanaan tes, apakah tes berbentuk uraian atau objective, berapa banyak butir tes yang perlu disusun, dan apakah tes diadministrasikan guru atau murid. Dalam kegiatan pengolahan haisl penilaian juga perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu norma apa yang digunakan dalam pengolahan hasil tes, apakah digunakan formula guessing bagaimana pengubahan skor menjadi skor masak, skor standar apa yang digunakan, serta untuk apa hasil tersebut digunakan.

Menurut Drs. Subandijah, prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum meliputi:
1.        Prinsip relevansi
Lulusan pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja karena pendidikan merupakan invested of man power resources. Untuk itu diperlukan kurikulum yang dapat mengantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan dating. Relevansi adalah kesesuaian dan keserasian pendidikan dengan tuntutan masyarakat (Subandijah, 1993; 48). Relevansi pendidikan dalam hal ini berkenaan dengan:
·                Relevansi pendidikan dengan lingkungan kehidupan peserta didik  Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan kehidupan nyata di sekitar peserta didik, sehingga peserta didik tidak merasa asing dengan kehidupan di sekitarnya.
·                Relevansi pendidikan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum harus memperhatikan bahwa apa yang diajarkan kepada peserta didik pada saar ini bermanfaat baginya untuk menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang, atau dengan kata lain kurikulum harus bersifat anticipatory.
·                Relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Hasil pendidikan juga harus sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Dalam hal ini tidak saja terkait dengan segi bahan atau isi tetapi juga menyangkut segi belajar dan pengalaman belajar.
·                Relevansi pendidikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat dan dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan tersebut. Pendidikan harus menyiapkan peserta didik baik sebagai produsen ilmu pengetahuan, tidak hanya sebagai konsumen iptek.
2.        Prinsip efektitifas dan efisiensi
·           Prinsip efektifitas
Efektifitas dalam dunia pendidikan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau diinginkan dapat dilaksanakan atau dicapai. Hal ini terkait dengan efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar murid. Efektifitas mengajar guru dapat dicapai dengan menguasai keahlian dan keterampilan dalam mengelola dan melaksanakan proses belajar-mengajar yang dapat ditingkatkan dengan kegiatan pembinaan baik melalui penataran maupun penyediaan buku-buku. Efektifitas belajar murid terkait dengan sejauhmana tujuan pelajaran yang diinginkan telah dicapai melalui kegiatan belajar-mengajar. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan guru dalam menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif, yang dapat dicapai dengan menyesuaikan bahan pengajaran dengan minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta lingkungan, dan adanya dukungan sarana prasarana yang memadai serta metode yang tepat.

·           Prinsip efisiensi
Efisiensi dalam proses belajar-mengajar berarti bahwa waktu, tenaga dan biaya yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran dapat merealisasikan hasil yang optimal.
3.        Prinsip kesinambungan
Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut kesaling hubungan antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan atau bidang studi. Untuk mencapai kesinambungan, kurikulum harus disusun dengan mempertimbangkan :
·            Bahan pelajaran yang diperlukan untuk sekolah yang lebih tinggi harus sudah diajarkan di sekolah sebelumnya
·            Bahan yang sudah diajarkan di sekolah yang lebih rendah tidak perlu diajarkan lagi di sekolah yang lebih tinggi
Kesinambungan antar berbagai bidang studi berarti bahwa dalam mengembangkan kurikulum harus mempertimbangkan keterkaitan antara bidang suti yang satu dengan bidang studi lainnya.

4.        Prinsip fleksibilitas
Kurikulum harus memberikan ruang gerak yang memberikan kebebasan guru dalam mengembangkan program pengajaran. Guru dalam hal ini memiliki otoritas dalam pengembangan kurikulum yang sesuai dengan minat, kebutuhan peserta didik dan kebutuhan daerah lingkungannya. Disamping itu, peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan dan lingkungan dengan membuka program-program pendidikan pilihan misalnya jurusan, program spesialisasi, atau program keterampilan.
5.        Prinsip berorientasi pada tujuan
Guru harus menentukan tujuan pengajaran sebelum menentukan bahan. Hal ini berarti bahwa guru dapat menentukan dengan tepat metode mengajar, alat pengajaran dan evaluasi yang digunakan dalam proses belajar-mengajar.
6.        Prinsip pendidikan seumur hidup
Dalam hal ini, pendidikan harus dapat memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah dan memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuh-kembangkan dirinya sendiri.
7.        Prinsip dan model pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus-menerus dengan mengadakan perbaikan terhadap pelaksanaan dan hasil yang telah dicapai untuk melakukan perbaikan, pemantapan dan pengembangan lebih lanjut

Dari beberapa macam-macam prinsip yang dikemukakan oleh para ahli pengembangan kurikulum diatas, ada lima prinsip yang mendasari pengembangan kurikulum:
1.      Prinsip relevansi
2.      Prinsip efektifitas
3.      Prinsip efisiensi
4.      Prinsip kesinambungan dan,
5.      Prinsip fleksibilitas



BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.        Prinsip kurikulum dapat juga dikatakan sebagai aturan yang menjiwai pengembangan kurikulum. Prinsip tersebut mempunyai tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan permintaan semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.
2.        Macam – macam prinsip kurikulum yang harus ditaati dalam pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut:
a.       Prinsip relevansi
b.      Prinsip efektifitas
c.       Prinsip efisiensi
d.      Prinsip kesinambungan dan,
e.       Prinsip fleksibilitas
3.        Prinsip-prinsip tersebut mempunyai tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan permintaan semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.







Minggu, 30 September 2012

semantics


1.             Full Word and Empty Word
John Lyons state on his book (1995) The word form of English, like the word form of many languages, can be put into two classes:
A.            Full word-form
A word that has lexical meaning rather than grammatical meaning; a word or morpheme that functions grammatically as a contentive.  Full words is  also mentioned they are lexical items that can stand alone and seem to have a certain meaning that we would expect to find in a dictionary. such as nouns, verbs and adjectives examples of full word- forms are: “sing”, “blue”, “gently”, “man”, “came”, “green”, “badly”.These examples of full words are represented by: nouns, verbs, adjectives and even adverbs, which can be put in isolation and give a meaning. Full word-form in English are form of the major part of speech such as nouns, verbs, and adjective. Full words are divided into three subclasses:
1.    Nominals
2.    Verbals
3.    Auxiliaries

1.    Nominals: are full words that occupy as  Subjects (S), Complements (C), or Adjectives (A)
Nominals can be divided into 4 subclasses:
a.     The diterminatives:
b.    The nouns:
c.     The adjuncts:
d.    The Interrogative nominal:
2.    The Verbal Presented into two classes:
a. Non-derived forms: these consist of one free morpheme
b. Derived forms: these forms are composite of full words (transitive and intransitives)


B.            Empty word-form
a word or morpheme that has no lexical meaning and that functions as a grammatical link or marker, rather than as a contentive. Empty word is meaningless, nonsense (a massage that seems to convey no meaning), loud and confused and empty talk and rethoric.

Empty words are also called “form words”, “grammatical words” “function words”, “structural words”. All these terms stand for what is called “empty word- forms” which differ grammatically and semantically from full word forms. Empty word forms belong to the grammar and have only grammatical meaning .Such a meaning can be stated only in relation to other words and even sometimes to the whole sentence. Empty word forms (in languages that have them) belong to a wide variety of classes such as prepositions, definite and indefinite articles, conjunctions, and certain pronouns and adverbs, which combine with the major parts of speech in well-formed phrases and sentences, and which are defined in terms of their syntactic function rather than semantic function. These are instances of empty word- forms: “it”,“the”,“of”,“and”,“to”,“it”,“is”. This is a set of grammatical words that cannot stand alone to give a particular meaning in the sense that they should be combined with other elements or items to express a certain meaning.
They are to be considered as dependent words relying on other words to express an idea, a thought or stand for something. Let’s take this example to make clear distinction between full word- forms and empty word- forms:“Boys like to play”
In this example, the full word forms are “boys”, “like”, and “play” and they have a particular meaning that enables them to be put in isolation. But, it is not the case for “to” which is a meaningless item that has no sense as a single unit.Empty word-form may not be entirely devoid of meaning (though some of them are in certain contexts). But, in an intuitively clear seen of ‘meaningful’, they are generally less meaningful than full-word are: they are more easily predictable in the context in which they occur. Hence, their omission in headlines, telegram, etc. and perhaps also in the utterances of very young children as they pass through early stages of language acquisition.
Empty word-form (in language) that have them belongs to wide variety of classes –such as preposition, definite and indefinite articles, conjunction and certain pronoun and adverb-which combine with the major part of speech in grammatically well –formed phrase and sentence and which (unlike the major part of speech) tend to be defined mainly in term of their syntactic function, rather than semantically.

The distinction between two classes is not always clear- cut. But it is intuitively recognizable in the example that I have just given. And it has been drawn on non-intuitive grounds by grammarians, by a playing a variety of criteria. Essentially the same distinction was drawn, centuries ago, in the Chinese grammatical tradition at the end of the nine-tenth century, by the English grammarian Henry sweet; and at the height of post-Bloomfieldian structuralism. In the 1950s, by the American English C.C. Fries (1952) it subsequently found it way in to many of the text book of a play linguistics and practical teaching-grammars of English and other language.

2.             Descriptive Meaning
The descriptive meaning of an expression is that aspect of meaning which only concerns the relationship between a given sign and its denotation. It contrasts with non-descriptive meaning, which concerns attitudes held by speakers towards a given denotation (e.g. emotive meaning, social meaning).
Quality is the most important dimension of variation within descriptive meaning and it is this  which constitutes the difference between black and white, pear and banana, here and there, walk and run, and eat and drink.
Cruse based on Langaker, sticks to lyon terminology and maintain the term descriptive meaning for what other have labeled ideational, referential, logical, and propositional meaning. Cruse also list a number of prototypical that descriptive meaning displays. Among them we can mention the following: this aspect of meaning determines whether the proposition is true or false, it constrains what the expression can be used to refer to, it is objective in the sense that it establishes between the speaker and what he says and finally this aspect of meaning is fully conceptualized.  The first is that we shall not require descriptive meaning to be categorically determinant for truth values/conditions, but merely that it should directly relevant to truth in the sense of rendering the truth of a proposition more or less likely. Differences of quality can be observed at all levels of specificity. We may think of hierarchies of semantic domains of various scope, or, alternatively of different ontological types. A typical set of ontological types at the highest level of generality is the following:
THING QUALITY QUANTITY PLACE TIME STATE PROCESS EVENT ACTION RELATION MANNER
These represent fundamental modes of conception that the human mind is presumably innately predisposed to adopt. At lower levels of generality, we find (among other types) hierarchically arranged sets of conceptual categories: Living things: animals, fish, insects, reptiles. . .
Animals: dogs, cats, lions, elephants. . .
Dogs: collies, alsatians, pekinese, spaniels. . .
We shall adopt the above criteria for our conception of descriptive meaning, with two modifications, or provisos. The first is that we shall not require descriptive meaning to be categorically determinant for truth values/ conditions, but merely that it should be directly relevant to truth in the sense of rendering the truth of a proposition more or less likely. For instance, the truth of "Fido is an animal" may be said to be crucial to the truth of "Fido is a  dog", in that if Fido is not an animal, then he/it can in no wise be a dog. However, "Fido can bark" is not crucial in this way: it is quite conceivable that a particular dog may not be able to bark. But if "Fido can bark" is false, that makes it less likely that Fido is a dog. Of course, "Fido can bark" is part of a normal description of a normal dog, so the inclusion of such  tters under the heading of descriptive meaning is not so perverse.
The second hedge is that we hall not require of descriptive meaning that it be within the normal scope of negation, questioning, etc., provided that it is of the type that can normally be negated, or whatever. In other words, we shall distinguish between descriptive meaning which is, as it were 'ring-fenced' against contradiction, and meaning which cannot be contradicted because it is the wrong type (usually because it does not present a proposition). For instance, It's a dog will normally be taken to indicate that (the referent of) it is an animal, that is, its being an animal is part (in some sense) of the meaning of It's a dog. But if someone points to a creature and says Is that a dog?, they are unlikely to be asking whether or not the referent of that is an animal. With these provisos, let us proceed to an examination of a number of dimensions along which descriptive meaning may vary.
Descriptive meaning may vary in intensity, without change of quality. For instance, one would not wish to say that large and huge differ in quality: they designate the same area of semantic quality space, but differ in intensity. It is characteristic of intensity differences that they yield normal results in the following test frame(s):
(13) It wasn't just X, it was Y.
I wouldn't go so far as to say it was Y, but it was X.
If these are normal, then Y is more intense than X:
(14) It wasn't just large, it was huge.
(cf. ?It wasn't just huge, it was large.)
I wouldn't go so far as to say it was huge, but it was large.
(15) I wasn't just scared of her, I was terrified of her.
I wouldn't go so far as to say I was terrified of her, but I was scared of her. From (14) and (15) we can conclude that huge is more intense than large,and terrified than scared. (Note that virtually any pair of items can be made toseem normal in this frame, given a suitably elaborated context: the test isintended to work in a zero context.)Variation in intensity is of course possible only in certain areas of qualityspace. But it is not confined to those areas designated by gradable adjectives(i.e., is not confined to the domain of QUALITIES). Examples from other areas are:
(16) It wasn't just a mist, it was a fog.
I wouldn't go so far as to say it was a fog, but it was a mist.
(17) He didn't just beat her, he thrashed her.
I wouldn't go so far as to say he thrashed her, but he did beat her.
Differences of descriptive specificity show up in various logical properties.These differ according to the exact type of specificity involved (see below). Forone major type of specificity, these properties include, for instance, unilateral entailment (in appropriate contexts):

(18) It's a dog unilaterally entails It's an animal.
It's not an animal unilaterally entails It's not a dog.

Note also that dogs and other animals is normal, but not ?animals and other dogs. From all this, we can conclude that dog is more specific than animal (alternatively,animal is more general than dog). Similarly, slap is more specific than hit, scarlet is more specific than red, woman is more specific than person. In all these cases one can say that one term (the more general one) designates a more extensive area of quality space than the other. Langacker (1993) likens difference of linguistic specificity to viewing something from different distances, the less specific the greater the distance. For instance, from a great distance, a dog may just look like an object; from closer in, one can see it is an animal, but not what kind of animal; closer still, and the fact that it is a dog becomes clear, but perhaps not what variety of dog, and so on. It is possible to distinguish several types of specificity. All the cases illustrated above involve type-specificity, that is to say, the more specific term Types and dimensions of meaning 51 denotes a subtype included within the more general type. But there is also part-specificity, illustrated by, for instance, hand-finger (where finger is the more specific), bicycle:wheel, university:faculty. John injured his finger is more specific than John injured his hand. The logical consequences of this type of specificity are different to those for type-specificity. Unilateral entailment appears (in general) only with locative expressions:
(19) The boil is on John's elbow unilaterally entails The boil is on John's arm. John lectures in the Arts Faculty unilaterally entails John lectures in the university.
A third type of specificity is intensity-specificity, where one range of degrees of some property is included in another range. For instance, one reading of large includes all ranges of intensity of "greater than average size". Hence It's huge entails It's large, but It's large does not entail It's huge. The logical properties here are the same as for type-specificity.