unique
this blog consists of some material that may be took as reference to find a knowledge
Kamis, 03 Januari 2013
my childest brother
my childest brother is one of the tv program's injure. his words is always got from adverstiment ... like the above
Jumat, 30 November 2012
pengembangan kurikulum
education
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kurikulum merupakan hala yang pokok
dalam dunia pendidikan. Hal-hal yang berhubungan dengan pencapaian tujuan
pendidikan dipandang sebagai kurikulum. Pengertian kurikulum yang semakin
meluas, sehingga membuat para pelaksana kurikulum memberikan batasan sendiri
terhadap kurikulum.
Namun perbedaan pengertian tersebut
tidak menjadi masalah yang besar terhadap pencapaian tujuan pendidikan, apabila
kurikulum tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang mendasarinya. Perwujudan
prinsip, aspek dan konsep kurikulum tersebut terletak pada guru. Sehingga guru
memiliki tanggung jawab terhadap tercapainya tujuan kurikulum itu sendiri.
Oleh karena itu, seorang pelaksana
kurikulum perlu mengetahui dan melaksanakan prinsip-prinsip apasaja yang
terdapat dalam kurikulum. Namun hal ini sering diabaikan oleh para pelaksana
kuikulum, sehingga pencapaian tujuan pendidikan tidak optimal atau bahkan
melenceng dari tujuan sebenarnya. Hal ini yang mendasari penulis untuk menyusun
makalah yang berjudul prinsip prinsip pengembangan kurikulum. Salah satunya
yaitu agar para pelaksana kurikulum dapat memahami dan melaksanakan prinsip
tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang yang terurai diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah
pengertian dari prinsip pengembangan kurikulum?
2. Apakah
prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum?
3. Mengapa
prinsip di perlukan dalam pengembangan kurikulum?
C.
Tujuan
Penyusunan
makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat:
1. Memahami
makna prinsip dalam pengembangan kurikulum
2. Mengerti
dan memahami prinsip-prinsip apa saja yang terdapat dalam kurikulum.
3. Menerapkan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dalam pelaksanaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang
lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah
berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan
kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum
baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian
yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Prinsip kurikulum dapat juga
dikatakan sebagai aturan yang menjiwai pengembangan kurikulum. Prinsip tersebut
mempunyai tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan
permintaan semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.
Pada umumnya
ahli kurikulum memandang kegiatan pengembnagn kurikulum sebagai suatu proses
yang kontinu, merupakan suatu siklus yang menyangkut beberapa kurikulum yaitu
komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Kurikulum
di Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam masyarakat. Penerapan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum salah satunya dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya dalam
kurikulum berbasis kompetensi dimana dalam prinsip pengembangan ini juga
memperhatikan beberapa aspek mendasar tentang karakteristik bangsa.
B.
Macam
–Macam prinsip dalam kurikulum
Oemar
Hamalik (2001) membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi delapan macam,
antara lain:
1.
Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembngan kurikulum diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan
Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan
satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-aspek
pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai. Yang selanjutnya menumbuhkan
perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan
bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
2.
Prinsip Relevansi (Kesesuaian)
Pengembangan kurikulum yang meliputi
tujuan, isi dan system penyampaian harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan
keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi
dengan perkembnagan ilmu pengetahuan dan tegnologi.
3.
Prinsip Efisiensidan Efektifitas.
Pengembangan kurikulum harus
mempertimbangkan segi efisien dan pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan
sumber-sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal. Dana yang
terbat harus digunakan sedemikina rupa dalam rangka mendukung pelaksanaan
pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa belajar disekolah juga terbatas
sehingga harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan tata ajaran dan bahan
pembelajaran yang diperlukan. Tenaga disekolah juga sangat terbatas, baik dalam
jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya didaya gunakan secara efisien untuk
melaksanakan proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan,
peralatan, dan sumber kerterbacaan, harus digunakan secara tepat oleh sswa
dalam rangka pembelajaran, yang semuanya demi meningkatkan efektifitas atau
keberhasilan siswa.
4.
Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah
disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan
ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau kaku. Misalnya dalam
suatu kurikulum disediakan program pendidikan ketrampilan industri dan
pertanian. Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya lahan pertanian.,
maka yang dialaksanakan program ketrampilan pendidikn industri. Sebaliknya,
pelaksanaan di desa ditekankan pada program ketrampilan pertanian. Dalam hal
ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan ketersediaan tenaga dan
peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kurikulum.
5.
Prinsip Kontiunitas
Kurikulum disusun secara
berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek, materi, dan bahan kajian
disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain
memilik hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan,
struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan siswa. Dengan prinsip
ini, tampak jelas alur dan keterkaitan didalam kurikulum tersebut sehingga
mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
6.
Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum memerhatikan
keseimbangan secara proposional dan fungsional antara berbagai program dan
sub-program, antara semau mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang
ingin dikembangkan. Keseimbangan juga perlu diadakan antara teori dan praktik,
antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial, humaniora, dan keilmuan perilaku.
Dengan keseimbangan tersebut diaharapkan terjalin perpaduan yang lengkap dan
menyeluruh, yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangan terhadap
pengembangan pribadi.
7.
Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip keterpaduan, perencanaan terpadu bertitik tolak dari
masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-unsusrnya. Pelaksanaan terpadu
dengan melibatkan semua pihak, baik di lingkungan sekolah maupun pada tingkat
inter sektoral. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuk pribadi yang bulat
dan utuh. Diamping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembalajaran,
baik dalam interaksi antar siswa dan guru maupun antara teori dan praktek.
8.
Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi
pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu
ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan,/media
yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan
pendidikan nasional yang diaharapkan.
Sementara
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata membedakan prinsip pengembangan kurikulum
dalam dua hal yaitu prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus.
Prinsip-prinsip umum meliputi :
1.
Relevansi
Dalam hal ini dapat dibedakan relevansi keluar yang
berarti bahwa tujuan, isi, dan proses belajar harus relevan dengan tuntutan,
kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan relevansi ke dalam berarti bahwa
terdapat kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu
antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian yang menunjukkan
keterpaduan kurikulum.
2.
Fleksibilitas
Kurikulum harus dapat mempersiapkan anak untuk kehidupan
sekarang dan yang akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak yang
memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Hal ini berarti bahwa
kurikulum harus berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah,
waktu maupun kemampuan, dan latar belakang anak.
3.
Kontinuitas
Terkait dengan perkembangan dan proses belajar anak yang
berlangsung secara berkesinambungan, maka pengalaman belajar yang disediakan
kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan
kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, serta
antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan.
4.
Praktis/efisiensi
Kurikulum harus praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan
alat-alat sederhana dan biayanya murah. Dalam hal ini, kurikulum dan pendidikan
selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu,
biaya, alat, maupun personalia.
5.
Efektifitas
Efektifitas berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan
kurikulum baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Kurikulum merupakan
penjabaran dari perencanaan pendidikan dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam pengembangannya, harus diperhatikan kaitan antara aspek utama kurikulum
yaitu tujuan, isi, pengalaman belajar, serta penilaian dengan kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan.
Prinsip-prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum
meliputi:
1.
Prinsip
berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan pusat dan arah semua kegiatan
pendidikan sehingga perumusan komponen pendidikan harus selalu mengacu pada
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan ini bersifat umum atau jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek. Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada
ketentuan dan kebijakan pemerintah, survey mengenai persepsi orangtua /
masyarakat tentang kebutuhan mereka, survey tentang pandangan para ahli dalam
bidang-bidang tertentu, survey tentang manpower, pengalaman-pengalaman negara
lain dalam masalah yang sama, dan penelitian.
2.
Prinsip
berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Dalam perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu perlunya penjabaran tujuan pendidikan ke dalam bentuk
perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana, isi bahan pelajaran harus
meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan, dan unit-unit kurikulum
harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
3.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar-mengajar
Pemilihan proses belajar mengajar hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu apakah metode yang digunakan cocok, apakah
dengan metode tersebut mampu memberikan kegiatan yang bervariasi untuk melayani
perbedaan individual siswa, apakah metode tersebut juga memberikan urutan
kegiatan yang bertingkat-tingkat, apakah penggunaan metode tersebut dapat
mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor, apakah metode tersebut lebih
menaktifkan siswa, apakah metode tersebut mendorong berkembangnya kemampuan
baru, apakah metode tersebut dapat menimbulkan jalinan kegiatan belajar di
sekolah dan rumah sekaligus mendorong penggunaan sumber belajar di rumah dan di
masyarakat, serta perlunya kegiatan belajar yang menekankan learning by
doing, bukan hanya learning by seeing and knowing.
4.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran
Proses belajar mengajar perlu didukung oleh
penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat. Untuk itu perlu
diperhatikan beberapa hal berikut, yaitu alat/media apa yang dibutuhkan, bila
belum ada apa penggantinya, bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat,
bagaimana pembiayaannya, dan kapan dibuatnya, bagaimana pengorganisasiannya
dalam keseluruhan kegiatan belajar, serta adanya pemahaman bahwa hasil terbaik
akan diperoleh dengan menggunakan multi media
5.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan
kegiatan penilaian meliputi kegiatan penyusunan alat penilaian harus mengikuti
beberapa prosedur mulai dari perumusan tujuan umum, menguraikan dalam bentuk
tingkah laku siswa yang dapat diamati, menghubungkan dengan bahan pelajaran dan
menuliskan butir-butir tes. Selain itu, terdapat bebarapa hal yang perlu juga
dicermati dalam perencanaan penilaian yang meliputi bagaimana kelas, usia, dan
tingkat kemampuan siswa yang akan dites, berapa lama waktu pelaksanaan tes,
apakah tes berbentuk uraian atau objective, berapa banyak butir tes yang perlu
disusun, dan apakah tes diadministrasikan guru atau murid. Dalam kegiatan
pengolahan haisl penilaian juga perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu norma
apa yang digunakan dalam pengolahan hasil tes, apakah digunakan formula guessing
bagaimana pengubahan skor menjadi skor masak, skor standar apa yang digunakan,
serta untuk apa hasil tersebut digunakan.
Menurut Drs. Subandijah, prinsip-prinsip dalam
pengembangan kurikulum meliputi:
1.
Prinsip
relevansi
Lulusan pendidikan harus memiliki nilai relevansi
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja karena pendidikan
merupakan invested of man power resources. Untuk itu diperlukan
kurikulum yang dapat mengantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan
dating. Relevansi adalah
kesesuaian dan keserasian pendidikan dengan tuntutan masyarakat (Subandijah,
1993; 48). Relevansi pendidikan dalam hal ini berkenaan dengan:
·
Relevansi
pendidikan dengan lingkungan kehidupan peserta didik Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus
disesuaikan dengan kehidupan nyata di sekitar peserta didik, sehingga peserta
didik tidak merasa asing dengan kehidupan di sekitarnya.
·
Relevansi
pendidikan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Dalam
kegiatan pengembangan kurikulum harus memperhatikan bahwa apa yang diajarkan
kepada peserta didik pada saar ini bermanfaat baginya untuk menghadapi
kehidupannya di masa yang akan datang, atau dengan kata lain kurikulum harus
bersifat anticipatory.
·
Relevansi
pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Hasil pendidikan juga harus sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja. Dalam hal ini tidak saja terkait dengan segi
bahan atau isi tetapi juga menyangkut segi belajar dan pengalaman belajar.
·
Relevansi
pendidikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. pendidikan harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat
cepat dan dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan tersebut. Pendidikan
harus menyiapkan peserta didik baik sebagai produsen ilmu pengetahuan, tidak
hanya sebagai konsumen iptek.
2.
Prinsip
efektitifas dan efisiensi
·
Prinsip
efektifitas
Efektifitas dalam dunia pendidikan berkenaan dengan
sejauh mana apa yang direncanakan atau diinginkan dapat dilaksanakan atau
dicapai. Hal ini terkait dengan efektifitas mengajar guru dan efektifitas
belajar murid. Efektifitas mengajar guru dapat dicapai dengan menguasai
keahlian dan keterampilan dalam mengelola dan melaksanakan proses
belajar-mengajar yang dapat ditingkatkan dengan kegiatan pembinaan baik melalui
penataran maupun penyediaan buku-buku. Efektifitas belajar murid terkait dengan
sejauhmana tujuan pelajaran yang diinginkan telah dicapai melalui kegiatan
belajar-mengajar. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan guru dalam
menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif, yang dapat dicapai dengan
menyesuaikan bahan pengajaran dengan minat, kemampuan dan kebutuhan peserta
didik serta lingkungan, dan adanya dukungan sarana prasarana yang memadai serta
metode yang tepat.
·
Prinsip
efisiensi
Efisiensi dalam proses belajar-mengajar berarti bahwa
waktu, tenaga dan biaya yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran
dapat merealisasikan hasil yang optimal.
3.
Prinsip
kesinambungan
Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut
kesaling hubungan antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan atau
bidang studi. Untuk mencapai kesinambungan, kurikulum harus disusun dengan
mempertimbangkan :
·
Bahan
pelajaran yang diperlukan untuk sekolah yang lebih tinggi harus sudah diajarkan
di sekolah sebelumnya
·
Bahan
yang sudah diajarkan di sekolah yang lebih rendah tidak perlu diajarkan lagi di
sekolah yang lebih tinggi
Kesinambungan antar berbagai bidang studi berarti bahwa
dalam mengembangkan kurikulum harus mempertimbangkan keterkaitan antara bidang
suti yang satu dengan bidang studi lainnya.
4.
Prinsip
fleksibilitas
Kurikulum harus memberikan ruang gerak yang memberikan
kebebasan guru dalam mengembangkan program pengajaran. Guru dalam hal ini
memiliki otoritas dalam pengembangan kurikulum yang sesuai dengan minat,
kebutuhan peserta didik dan kebutuhan daerah lingkungannya. Disamping itu,
peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang
sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan dan lingkungan dengan membuka
program-program pendidikan pilihan misalnya jurusan, program spesialisasi, atau
program keterampilan.
5.
Prinsip
berorientasi pada tujuan
Guru harus menentukan tujuan pengajaran sebelum
menentukan bahan. Hal ini berarti bahwa guru dapat menentukan dengan tepat
metode mengajar, alat pengajaran dan evaluasi yang digunakan dalam proses
belajar-mengajar.
6.
Prinsip
pendidikan seumur hidup
Dalam hal ini, pendidikan harus dapat memberi pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah dan
memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuh-kembangkan dirinya sendiri.
7.
Prinsip
dan model pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan
terus-menerus dengan mengadakan perbaikan terhadap pelaksanaan dan hasil yang
telah dicapai untuk melakukan perbaikan, pemantapan dan pengembangan lebih
lanjut
Dari
beberapa macam-macam prinsip yang dikemukakan oleh para ahli pengembangan
kurikulum diatas, ada lima prinsip yang mendasari pengembangan kurikulum:
1. Prinsip
relevansi
2. Prinsip
efektifitas
3. Prinsip
efisiensi
4. Prinsip
kesinambungan dan,
5. Prinsip
fleksibilitas
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Prinsip kurikulum dapat juga
dikatakan sebagai aturan yang menjiwai pengembangan kurikulum. Prinsip tersebut
mempunyai tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan
permintaan semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.
2.
Macam – macam prinsip
kurikulum yang harus ditaati dalam pengembangan kurikulum adalah sebagai
berikut:
a. Prinsip
relevansi
b. Prinsip
efektifitas
c. Prinsip
efisiensi
d. Prinsip
kesinambungan dan,
e. Prinsip
fleksibilitas
3.
Prinsip-prinsip tersebut mempunyai
tujuan agar kurikulum yang didesain atau dihasilkan sesuai dengan permintaan
semua pihak yakni anak didik, orangtua, masyarakat dan bangsa.
Minggu, 30 September 2012
semantics
1.
Full
Word and Empty Word
John Lyons state on his book (1995)
The word form of English, like the word form of many languages, can be put into
two classes:
A.
Full
word-form
A word that
has lexical meaning rather than grammatical
meaning; a word or morpheme that functions
grammatically as a contentive. Full words is
also mentioned they are lexical items that can stand alone and seem to
have a certain meaning that we would expect to find in a dictionary. such as
nouns, verbs and adjectives examples of full word- forms are: “sing”, “blue”,
“gently”, “man”, “came”, “green”, “badly”.These examples of full words are
represented by: nouns, verbs, adjectives and even adverbs, which can be put in
isolation and give a meaning. Full word-form in English are form of the major
part of speech such as nouns, verbs, and adjective. Full words are divided into
three subclasses:
1.
Nominals
2.
Verbals
3.
Auxiliaries
1.
Nominals: are full
words that occupy as Subjects (S),
Complements (C), or Adjectives (A)
Nominals can be
divided into 4 subclasses:
a.
The diterminatives:
b.
The nouns:
c.
The adjuncts:
d.
The Interrogative
nominal:
2.
The Verbal Presented
into two classes:
a. Non-derived forms: these consist
of one free morpheme
b. Derived forms: these forms are
composite of full words (transitive and intransitives)
B.
Empty word-form
a
word
or morpheme that has no lexical meaning and that functions as a grammatical
link or marker, rather than as a contentive. Empty word is meaningless,
nonsense (a massage that seems to convey no meaning), loud and confused and
empty talk and rethoric.
Empty
words are also called “form words”, “grammatical words” “function words”,
“structural words”. All these terms stand for what is called “empty word-
forms” which differ grammatically and semantically from full word forms. Empty
word forms belong to the grammar and have only grammatical meaning .Such a
meaning can be stated only in relation to other words and even sometimes to the
whole sentence. Empty word forms (in languages that have them) belong to a wide
variety of classes such as prepositions, definite and indefinite articles,
conjunctions, and certain pronouns and adverbs, which combine with the major
parts of speech in well-formed phrases and sentences, and which are defined in
terms of their syntactic function rather than semantic function. These are
instances of empty word- forms: “it”,“the”,“of”,“and”,“to”,“it”,“is”. This is a
set of grammatical words that cannot stand alone to give a particular meaning
in the sense that they should be combined with other elements or items to
express a certain meaning.
They
are to be considered as dependent words relying on other words to express an
idea, a thought or stand for something. Let’s take this example to make clear
distinction between full word- forms and empty word- forms:“Boys like to play”
In this example, the full word forms are “boys”, “like”, and “play” and they have a particular meaning that enables them to be put in isolation. But, it is not the case for “to” which is a meaningless item that has no sense as a single unit.Empty word-form may not be entirely devoid of meaning (though some of them are in certain contexts). But, in an intuitively clear seen of ‘meaningful’, they are generally less meaningful than full-word are: they are more easily predictable in the context in which they occur. Hence, their omission in headlines, telegram, etc. and perhaps also in the utterances of very young children as they pass through early stages of language acquisition.
In this example, the full word forms are “boys”, “like”, and “play” and they have a particular meaning that enables them to be put in isolation. But, it is not the case for “to” which is a meaningless item that has no sense as a single unit.Empty word-form may not be entirely devoid of meaning (though some of them are in certain contexts). But, in an intuitively clear seen of ‘meaningful’, they are generally less meaningful than full-word are: they are more easily predictable in the context in which they occur. Hence, their omission in headlines, telegram, etc. and perhaps also in the utterances of very young children as they pass through early stages of language acquisition.
Empty
word-form (in language) that have them belongs to wide variety of classes –such
as preposition, definite and indefinite articles, conjunction and certain
pronoun and adverb-which combine with the major part of speech in grammatically
well –formed phrase and sentence and which (unlike the major part of speech)
tend to be defined mainly in term of their syntactic function, rather than
semantically.
The
distinction between two classes is not always clear- cut. But it is intuitively
recognizable in the example that I have just given. And it has been drawn on
non-intuitive grounds by grammarians, by a playing a variety of criteria.
Essentially the same distinction was drawn, centuries ago, in the Chinese
grammatical tradition at the end of the nine-tenth century, by the English
grammarian Henry sweet; and at the height of post-Bloomfieldian structuralism.
In the 1950s, by the American English C.C. Fries (1952) it subsequently found
it way in to many of the text book of a play linguistics and practical teaching-grammars
of English and other language.
2.
Descriptive
Meaning
The descriptive
meaning of an expression is that aspect of meaning which only concerns
the relationship between a given sign and its denotation.
It contrasts with non-descriptive meaning, which concerns attitudes held by
speakers towards a given denotation (e.g. emotive meaning, social meaning).
Quality is the most important
dimension of variation within descriptive meaning and it is this which constitutes the difference between
black and white, pear and banana, here and there, walk and run, and eat and drink.
Cruse based on Langaker, sticks to lyon
terminology and maintain the term descriptive meaning for what other have
labeled ideational, referential, logical, and propositional meaning. Cruse also
list a number of prototypical that descriptive meaning displays. Among them we
can mention the following: this aspect of meaning determines whether the
proposition is true or false, it constrains what the expression can be used to
refer to, it is objective in the sense that it establishes between the speaker
and what he says and finally this aspect of meaning is fully
conceptualized. The
first is that we shall not require descriptive meaning to be categorically
determinant for truth values/conditions, but merely that it should directly
relevant to truth in the sense of
rendering the truth of a proposition more or less
likely. Differences of quality can be observed at all levels of specificity. We
may think of hierarchies of semantic domains of various scope, or,
alternatively of different ontological types. A typical set of
ontological types at the highest level of generality is the following:
THING
QUALITY QUANTITY PLACE TIME STATE PROCESS EVENT ACTION RELATION MANNER
These
represent fundamental modes of conception that the human mind is presumably
innately predisposed to adopt. At lower levels of generality, we find (among
other types) hierarchically arranged sets of conceptual categories: Living
things: animals, fish, insects, reptiles. . .
Animals:
dogs, cats, lions, elephants. . .
Dogs: collies, alsatians, pekinese, spaniels. . .
We shall adopt the above criteria for our conception of
descriptive meaning, with
two modifications, or provisos. The first is that we shall not require
descriptive meaning to be categorically determinant for
truth values/ conditions,
but merely that it should be directly relevant to truth in the sense
of rendering the truth of a proposition more or less
likely. For instance, the truth
of "Fido is an animal" may be said to be crucial to the truth of
"Fido is a dog",
in that if Fido is not an animal, then he/it can in no wise be a dog.
However, "Fido can bark" is not crucial in this
way: it is quite conceivable that a particular dog may not be able to bark. But if
"Fido can bark" is false, that makes it less likely that Fido is a dog. Of course,
"Fido can bark" is part of a normal description of a normal dog, so the inclusion of
such tters
under
the heading of descriptive meaning is not so perverse.
The second hedge is that we hall not require of
descriptive meaning that it be within the normal scope of negation, questioning, etc., provided that it
is of
the type that can normally be negated, or whatever. In
other words, we shall distinguish
between descriptive meaning which is, as it were 'ring-fenced'
against contradiction, and meaning which cannot be
contradicted because it is the wrong type (usually because it does not present a proposition). For
instance, It's a dog will normally be taken to
indicate that (the referent of) it is an animal, that is, its being an animal is part (in some
sense) of the meaning of It's
a dog. But if someone points to a
creature and says Is that a dog?, they are unlikely to be asking whether or not the referent of that
is an animal. With
these provisos, let us proceed to an examination of a number of
dimensions along which descriptive meaning may vary.
Descriptive meaning may vary in intensity, without change
of quality. For instance,
one would not wish to say that large and huge differ in quality:
they
designate the same area of semantic quality space, but
differ in intensity. It
is
characteristic of intensity differences that they yield
normal results in the following
test frame(s):
(13)
It wasn't just X, it was Y.
I wouldn't go so far as to say it was Y, but it was X.
If
these are normal, then Y is more intense than X:
(14)
It wasn't just large, it was huge.
(cf. ?It wasn't just huge, it was large.)
I wouldn't go so far as to say it was huge, but it was
large.
(15)
I wasn't just scared of her, I was terrified of her.
I wouldn't go so far as to say I was terrified of her,
but I was scared of her.
From (14) and (15) we can conclude that huge is
more intense than large,and terrified than scared. (Note that
virtually any pair of items can be made toseem normal in this frame, given a
suitably elaborated context: the test isintended to work in a zero
context.)Variation in intensity is of course possible only in certain areas of
qualityspace. But it is not confined to those areas designated by gradable
adjectives(i.e., is not confined to the domain of QUALITIES). Examples from
other
areas are:
(16)
It wasn't just a mist, it was a fog.
I wouldn't go so far as to say it was a fog, but it was a
mist.
(17)
He didn't just beat her, he thrashed her.
I wouldn't go so far as to say he thrashed her, but he
did beat her.
Differences of descriptive specificity show up in various
logical properties.These differ according to the exact type of specificity
involved (see below). Forone major type of specificity, these properties include, for
instance, unilateral entailment
(in appropriate contexts):
(18)
It's a dog unilaterally entails It's an animal.
It's not an animal unilaterally entails It's not a dog.
Note also that dogs and other animals is normal,
but not ?animals and other dogs. From all this, we can conclude that dog is more
specific than animal (alternatively,animal is more general than dog).
Similarly, slap is more specific than hit, scarlet is
more specific than red, woman is more specific than person. In
all
these cases one can say that one term (the more general
one) designates a more extensive
area of quality space than the other. Langacker (1993) likens difference
of linguistic specificity to viewing something from
different distances, the less
specific the greater the distance. For instance, from a great distance, a dog
may just look like an object; from closer in, one can see
it is an animal, but not what
kind of animal; closer still, and the fact that it is a dog becomes clear, but
perhaps not what variety of dog, and so on.
It is possible to distinguish several types of
specificity. All the cases illustrated above involve type-specificity, that is to say, the more
specific term Types and
dimensions of meaning 51 denotes
a subtype included within the more general type. But there is also
part-specificity, illustrated by, for instance, hand-finger
(where finger is the more specific), bicycle:wheel, university:faculty. John injured his
finger is more specific
than John injured his hand. The logical consequences of this type of
specificity are different to those for type-specificity.
Unilateral entailment appears
(in general) only with locative expressions:
(19) The boil is on John's elbow unilaterally
entails The boil is on John's arm. John lectures in the Arts Faculty unilaterally entails John lectures in the
university.
A third type of specificity is intensity-specificity,
where one range of degrees of some property is included in another range. For instance, one reading of
large includes
all ranges of intensity of "greater than average size". Hence It's
huge entails It's
large, but It's large does not entail It's huge. The logical
properties here are the same as for type-specificity.
Langganan:
Komentar (Atom)